Anda diciptakan sama,namun anda diselamatkan untuk menjadi "BERBEDA"

10 December 2008

SEBERAPA SIAP GEREJA MENGHADAPI DAMPAK KRISIS EKONOMI ?

Beberapa bulan yang lalu hingga hari ini, dunia digonjang-ganjingkan dengan krisis keuangan global. Krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat ini tidak hanya membuat pusing dan ketakutan bagi pemerintah Amerika Serikat, demikian juga di sebagian besar negara lain. Seperti diberitakan di media massa “Bisnis Indonesia”, di tahun 2008 ini perusahaan yang pailit di Jepang sudah mencapai 30 perusahaan atau terbanyak sejak periode Perang Dunia II. Sulitnya memperoleh kredit di tengah krisis keuangan global menjadi pemicu tingginya kebangkrutan di Jepang. Krisis keuangan global ini mencelikkan mata kita bagaimana dalamnya keterkaitan keuangan dan dagang satu negara dengan negara lain, seperti mata rantai.
Banyak orang menyalahkan para CEO yang tamak dan tidak bersikap sebagai pekerja nyata, mereka hanya memikirkan bagaimana menghasilkan bonus yang besar dengan “segala cara”. Batas-batas manajemen resiko yang mereka tahu dan pahami dilanggar semau mereka.

Kredit macet perumahan di Amerika Serikat atau dalam bahasa kita KPR, membuat beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas. Prilaku memudahkan pemberian kredit inilah yang menyebabkan mereka terjerumus hingga sebagian pailit. Karena banyak institusi maupun negara yang membiayai bank-bank tersebut, mau tidak mau mereka pun ikut terseret ke dalam permasalahan ini. Isu ini berkembang kencang, hingga mengkuatirkan banyak investor, dan mereka lari dari bursa saham, demi menyelamatkan harta mereka masing-masing. Dan kita tahu hampir semua negara mengalami penurunan nilai sahamnya. Disebutkan nilai saham Dow Jones AS pada titik terendah selama 21 tahun terakhir, tidak lepas dengan Bursa Efek Indonesia yang mengalami penurunan 50% lebih.
Bagaimana dampaknya dengan Indonesia pada khususnya ? Dampak keuangan di Bursa Efek Indonesia bukanlah dampak yang menakutkan bagi rakyat kecil. Dampak ini sangat dirasakan bagi pemilik modal, yang hartanya terkikis banyak.
Namun lesunya bisnis di Amerika itulah permasalahan utamanya. Mengakibatkan ekspor kita melambat. Bukan hanya ekspor ke Amerika, ke negara lain pun akan sama, karena mereka juga kena dampak krisis di negaranya. Bisakah kita bayangkan apa yang terjadi jika utilitas pabrik tinggal 40% bahkan tidak sedikit yang gulung tikar ? Tentu mereka akan memPHKan sebagian besar karyawannya.
Sebagai contoh saja PT. Doulton Indonesia (produsen keramik tableware) merumahkan 3.000-5.000 orang pekerja akibat dari penghentian 20% lini produksinya. Nah yang lebih celaka industri yang banyak mengekspor ini termasuk industri padat karya, semisal : tekstil, mebel, sepatu, keramik, dan lain-lain. Jika banyak orang tidak memiliki pekerjaan, tentu mempengaruhi daya beli masyarakat, akibatnya pasar dalam negeri pun ikut lesu. PT. Honda Prospect Motor (HPM) sudah mereduksi hingga 40% volume produksinya, akibatnya 2.800 karyawan kontraknya terancam tidak diperpanjang.
Kita bisa bayangkan bukan, apa jadinya jika seorang Ayah tidak memiliki pekerjaan, sedangkan dia harus membiayai anaknya sekolah. Seperti berita Kompas yang saya baca hari ini, seorang Ayah dirumahkan oleh perusahaannya, sedangkan istrinya yang sekantor dengannya tidak turut dirumahkan. Namun dia mengeluh, karena tidak cukup keuangannya yang harus membiaya makan dan sekolah anak-anaknya.
Menurut Hervey Brenner, yang dikutip oleh Rhenald Kasali, mengatakan : “Setiap 10% kenaikan penganggur, kematian naik 1,2%, serangan jantung 1,7%, bunuh diri 1,7%, dan harapan hidup berkurang 7%.
Saya sangat setuju dengan Bill Hybels dalam bukunya COURAGEOUS LEADERSHIP. Dia katakan, “Gereja adalah satu-satunya tumpuan harapan dunia.” Tidak ada penyelesaian yang bisa sebaik yang ditawarkan oleh gereja.
Namun yang sekarang menjadi pertanyaan kita, “Optimiskah kita dengan fungsi gereja saat ini untuk menjadi tumpuan harapan dunia ?” atau dengan kalimat yang sesuai topik pembahasan kita saat ini, “SEBERAPA SIAP GEREJA MENGHADAPI DAMPAK KRISIS EKONOMI ?”
Saya mulai berpikir, apakah keberadaan gereja saat ini membuat perbedaan ? Jika adanya gereja dan tidak adanya gereja kita sama saja, kita harus menangisi kenapa bisa demikian. Jika gereja hanyalah sebagai tempat atau ruangan untuk ibadah bersama, saya percaya Tuhan Yesus sangat kecewa jika gereja hanya bisa berfungsi seperti itu.
Kenapa ? Coba kita baca dan pahami kata-kata ini :
Matius 26:11 Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak
akan selalu bersama-sama kamu.
Matius 25:40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Yohanes 17:26 dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan
Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku
ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka."
Dari ayat-ayat di atas Alkitab memberikan beberapa pesan bagi kita, yaitu :
1.Tuhan meninggalkan orang-orang yang perlu dilayani, yaitu orang-orang yang biasa Tuhan Yesus layani semasa hidupnya. Mereka adalah orang miskin, para janda, orang sakit, hubungan yang retak, orang-orang yang putus asa, dan lain-lain.
2.Tuhan tidak meninggalkan fisik gereja bagi kita. Tindakan yang salah jika kita lebih memikirkan apa yang tidak pernah Tuhan Yesus arahkan bagi kita, seperti bangunan gereja.
3.Melayani Tuhan sama dengan melayani mereka yang kekurangan kebutuhan primer (lapar, haus dan telanjang) dan kebutuhan emosional serta relasi (sakit dan di penjara).
4.Doa Tuhan Yesus bagi orang percaya ada dua. Pertama, agar orang-orang percaya menjadi satu. Kedua, agar kasih Allah Bapa ada di dalam orang-orang percaya.

Gereja bukan hanya sebuah komunitas (club). Gereja bukan hanya sebuah ladang mencari identitas diri. Gereja bukan hanya sarana belajar berorganisasi. Gereja bukan hanya ballroom untuk ibadah. Gereja bukan untuk menunjukkan identitas diri. Gereja ada bukan untuk membuat manusia menjadi egois. Gereja ada bukan untuk mengajarkan orang-orang percaya menjadi eksklusif.
Seperti judul buku Philip Yance, “Gereja mengapa dirisaukan”, saya percaya Tuhan kita adalah Allah yang masih berdaulat, Dia tidak hilang kendali, apabila ada sebagian gereja-Nya yang tidak memenuhi harapan-Nya. Kita bisa sadari sejak dulu hingga saat ini, Tuhan terus memegang kendali gereja-gereja-Nya.
Saat gereja dibutuhkan untuk pengabaran Injil yang intensif, gereja mula-mula telah melaksankannya dengan baik. Saat gereja dibutuhkan menghadapi bidat-bidat, gereja zaman Yunani berfungsi dengan baik. Saat gereja dibutuhkan kewibawaannya melalui kekuasaan pemerintahan, gereja zaman Katolik telah melakukan dengan baik. Saat gereja perlu diperbaharui dari penyelewengan, gereja zaman Reformasi Protestan telah menjalankan dengan baik. Saat gereja harus memberikan pencerahan dari kebodohan, gereja di abad pencerahan turut terlibat. Saat gereja dibutuhkan dalam dunia yang kompleks, lahirlah gereja dengan paradigma misi.
Semua terjadi tidak kebetulan. Semua sudah dirancangkan oleh Tuhan, kapan dan tujuan spesifiknya sudah direncanakan tanpa meleset sedikitpun. Demikian juga dengan era ke depan. Gereja dibutuhkan untuk menjadi tumpuan harapan dunia, karena kesulitan hidup yang pasti semakin berat.
Bagaimana gereja bisa berperan aktif menghadapi dampak dari krisis ekonomi, khususnya di Indonesia ?
Pertama, GEREJA YANG BERPERAN ADALAH GEREJA YANG BERTINDAK. Terlalu sering, pemimpin gereja tanpa sadar atau mungkin sadar, hanya membahas dan menganalisa krisis ekonomi ini. Dan kita hanya membicarakan apa-apa saja yang akan dihadapi perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Juga kita hanya merasa kasihan kepada mereka yang mempunyai perusahaan yang terkena dampak krisis global ini. Dan paling baik, kita mengajak jemaat bersatu hati untuk berdoa bagi mereka yang kesulitan akibat krisis global tersebut. Apa jadinya jika Yesus hanya berbelas kasihan dan berdoa bagi mereka yang lumpuh, sakit pendarahan, yang mati ? Saya percaya 100 persen, mereka tetap lumpuh, tetap sakit dan tetap mati. Tidak ada mujizat tanpa sebuah tindakan. Alangkah sayangnya jika gereja tidak bisa berperan, hanya gara-gara kurangnya tindakan.
Kedua, GEREJA YANG BERPERAN ADALAH GEREJA YANG TERINTEGRASI (Integrated). Hampir semua gereja meyakinkan kepada jemaatnya bahwa mereka tidak hanya tampak suci di hari Minggu, namun senin hingga sabtu tidak demikian. Jemaat yang sebagai pengusaha dan pekerja tidak boleh memisahkan urusan kerja adalah urusan dunia, dan urusan gereja adalah urusan rohani. Namun tidak sedikit gereja berprilaku dan bersikap seperti jemaat. Gereja membuat batas (mungkin tanpa menyadarinya), urusan gereja adalah urusan mimbar. Pelayanan Liturgis yang baik, pembicara yang bagus dan ibadah yang penuh hikmat. Gereja melakukan banyak yang Yesus lakukan sedikit. Gereja memberi perhatian lebih yang Yesus beri perhatian sedikit. Gereja yang berperan tidak mungkin bisa hanya berhenti di atas mimbar. Gereja harus menyatu dengan kehidupan sehari-hari jemaat dan warga sekitarnya.
Ketiga, GEREJA YANG BERPERAN ADALAH GEREJA YANG BISA MENGHIDUPKAN. Tanggung jawab gereja agar kehidupan jemaat, warga sekitar dan bangsa di mana gereja itu berada untuk semakin baik. Di gereja saya ada slogan bidang regenerasi, yakni bidang yang membidangi komisi sekolah minggu hingga pemuda, slogannya berbunyi demikian : “Tidak satupun boleh hilang !” Slogan ini bermula dari permasalahan dari hilangnya beberapa orang ketika kenaikan jenjang, semisal dari sekolah minggu ke tunas remaja atau dari tunas remaja ke remaja atau dari remaja ke pemuda. Gereja kami berusaha keras untuk meminimalkan kehilangan jemaatnya setiap kenaikan. Saya rasa semangat inipun harus sama dengan menghidupkan kondisi ekonomi jemaat. Satu alasan saya untuk memberikan pinjaman (piutang) karyawan, karena saya berpikir “Kalau bukan perusahaan, siapa lagi yang membantu mereka.” Kalimat ini cocok juga diterapkan bagi gereja, kalau bukan gereja siapa lagi yang membantu jemaatnya. Gereja yang berperan tidak hanya menghidupkan mata rohani jemaatnya, namun juga mata pencaharian mereka.
Keempat, GEREJA YANG BERPERAN ADALAH GEREJA YANG KONTEKSTUAL. Rupanya Tuhan Yesus tidak mengajarkan atau memberi model sebuah gereja yang ideal bagi kita, karena ideal tidaknya gereja, bergantung adaptasi gereja dengan perubahaan lingkungannya. Andaisaja Tuhan Yesus memberikan gereja yang ideal di zamannya, bisa diperkirakan gereja akan mati dan tidak bisa berbuat banyak bagi dunia. Ada beberapa ciri-ciri gereja yang kontekstual menurut Dr. Makmur Halim, yakni :
1.Gereja yang tidak hanya memikirkan from above (perkara-perkara di atas), juga memikirkan masyarakat dan dunia sekitarnya (from below).
2.Gereja yang tidak selalu hidup dalam sejarah masa lalu, tetapi melihat dunia sekarang ini.
3.Gereja yang mau berubah (yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Alkitabiah) sesuai dengan perubahaan lingkungannya.
4.Gereja yang selalu membawa mandat sosial-budaya, mandate politik, mandate ekonomi, dan mandate perdamaian bagi dunia yang sedang menjalani rute-rute yang sulit.
5.Gereja yang menjalankan misi Allah, yaitu hadir bagi mereka yang tertindas, terbuang, tersingkir, terhina, termiskin, dilecehkan, didiskriminasi, dan dilupakan.
Beberapa minggu lalu saya coba untuk membuat survey kecil-kecilan. Survey ini dilatarbelakangi dampak dari krisis keuangan global di Indonesia dan ingin tahu seberapa siapkah gereja membawa fungsinya untuk mengarahkan dan melakukan sesuatu bagi jemaat, warga sekitar dan bangsanya yang menderita akibat krisis ini.
Dampak krisis finansial ini tidaklah kecil. Akibat pengangguran akan memperbanyak rakyat yang miskin. Ekonomi keluarga yang kekurangan menyulitkan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, hingga bertambahlah tingakt kebodohan. Lapangan pekerjaan yang sedikit mempersulit orang-orang untuk mencari nafkah, diperkirakan akan meningkatnya keputusasaan, tingkat stress, bunuh diri, kejahatan, dan bahkan menjual diri demi uang.
Dari 6 gereja yang disurvey, kebanyakkan tidak memiliki perubahan yang cepat menghadapi dampak dari kesulitan ekonomi, baik topik-topik yang dikhotbahkan di atas mimbar, pelayanan sosial yang ada dan pembentukan pelayanan di tahun 2008.
Topik-topik khotbah masih didominasi dengan topik-topik klasik, doktrinal, dan kental dengan nuansa spiritual. Minim sekali yang ada hubungan dengan bagaimana sikap yang dijadikan arahan gereja bagi kehidupan jemaat agar bertindak benar dan siap diri dalam menghadapi dampak-dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Pelayanan sosial yang ada di gereja-gereja yang disurvey hampir semua adalah pelayanan yang rutinitas dan berjalan secara tahunan. Hal ini menunjukkan perubahaan pelayanan gereja sangat jarang, atau gereja-gereja terlena menjalankan tanpa mengevaluasi efektifitas pelayanan sosial yang ada dengan kebutuhan jemaat-jemaat.
Untuk pelayanan gereja yang baru terbentuk di tahun 2008, ada beberapa gereja yang sama sekali tidak ada pelayanan baru yang dibentuk. Padahal ada peristiwa besar dan berdampak besar bagi kehidupan jemaat, warga sekitar dan bangsa kita, yaitu dampak krisis ekonomi yang melanda.
Dari pembahasan di atas, baiklah buat kita semua mengevaluasi dan mengintropeksi diri, apalagi kita yang duduk sebagai pemimpin-pemimpin gereja untuk peka membawa gerejanya untuk memberi harapan bagi dunia. Pemimpin gereja seharusnya menyeimbangkan fungsi gereja untuk hal yang rohani dan kehidupan sehari-hari. Pemimpin gereja juga harus lebih giat untuk bertindak secara nyata bagi jemaat, warga sekitar dan bangsa Indonesia.
Pemimpin gereja haruslah tidak berkutat dan terlena dengan rutinitas ibadah mingguan, program-program gereja yang monoton dan kegiatan yang secara fisik saja.